Rabu, 03 November 2010

PKI.................

Ya, pernyataan ini sangat tepat, agar "noda hitam" G-30 S PKI bisa lebih proporsional dihayati, diperbincangkan, diperdebatkan tanpa ada "dendam sejarah" yang membuat energi bangsa terkuras karena "paranoia komunis" yang ditanamkan rezim despot Orde Baru masih mencengkram "mindset" publik, bahkan menular ke dalam pemikiran elit, maupun pakar sejarah.

makanya sungguh tepat, pemikiran cemerlang Gus DUR yang progresif dan semangat taat konstitusi yang menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa setiap warga negara indonesia (WNI) mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi, akhirnya TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan PKI dan ajaran Komunisme, leninisme, dan Marxisme--pada saat pemerintahannya--sukses dicabut!. implikasinya sungguh meriah, Buku-buku PRAM yang dulu dianggap "bawah tanah" dan "sangat KIRI" kini bisa dijual bebas, dibedah, dan digandrungi, Ormas maupun Partai tak ragu memakai perjuangan revolusioner (ala) kaum komunis untuk mendulang simpati rakyat, Atribut macam "Palu ARIT" sering saya lihat di kaos-kaos anak muda atau websitenya para Blogger, anak-anak keturunan anggota PKI mendapat rehabilitasi dan bebas berkiprah dimana saja tanpa takut diintimidasi, bahkan DR RIBKA CIPTANING menulis buku "AKU Bangga jadi Anak PKI" dan dengan mulus melenggang ke senayan menjadi anggota Parlemen.

Dalam iklim demokrasi yang sehat, kebebasan harus dirayakan, bahkan Negara harus menfasilitasinya, sebaliknya segala bentuk larangan--yang berpotensi mengekang kebebasan harus dihapuskan, sepanjang ekpresi kebebasan itu tidak melanggar ketertiban umum dan mengarah ke perbuatan kriminal. Hal ini berlawanan dengan watak Orde baru yang sebisa mungkin Negara harus ikut campur dalam setiap detil kegiatan publik terutama demi stabilitas, walhasil kegiatan "mata-mata" yang dilakukan Intel marak, dengan begitu, negara malah menfasilitasi publik untuk saling curiga, was-was dan terlalu waspada dengan segala bentuk ancaman baik yang berupa fisik maupun psikis. Dalam jangka panjang, sifat serba tertutup ini malah membuat mentalitas publik untuk menerima pluralitas menjadi sangat rigid, karena neurosis yang begitu besar dan didesain sedemikian rupa oleh kekuasaan menganggap bahwa "sosok lain" itu menyimpan potensi bahaya sehingga keberadaannya harus dihilangkan. Yang menyedihkan, justru "institusionalisasi" rasa takut ini bukan hanya ditujukan kepada sosok fisik tetapi juga seringkali sosok psikis berupa ideologi. Bisa diduga, dengan mengemban "luka sejarah" terhadap komunisme-- yang sekali lagi juga didesain kekuasaan--maka konstruksi sosial yang terbentuk adalah sikap antipati yang berlebihan terhadap apa-pun yang berbau komunisme.
Ini terbukti, dalam acara debat itu, ALFIAN TANJUNG, seorang dosen UHAMKA, aktivis Anti- Komunis yang tampaknya membawa "bendera" umat islam begitu "garang" melawan setiap argumentasi DR RIBKA CIPTANING. Bahkan dalam salah satu argumentasinya, ALFIAN sepertinya "ngebet" menyuruh Pemerintah untuk memberangus anasir-anasir komunisme dari bumi pertiwi, dan yang kurang elegan adalah peryataannya untuk "melawan" kekuatan PKI yang katanya bangkit lagi, saya artikan sebagai seruan untuk "perang fisik" diantara sesama anak bangsa. Sesuatu yang kekanak-kanakan dalam iklim demokrasi yang semestinya lebih mengandalkan kekuatan nalar ketimbang agresivitas fisik.

Peryataan ALFIAN, saya mengendus adalah bentuk ketakutan yang Over dosis terhadap Komunisme (dan PKI). Dia tidak sadar, bahwa pertama : pernyataannya adalah langkah mundur ke "zaman batu" orde baru, yang karena politik anti-komunisnya malah membuat jutaan rakyat indonesia--yang dituding secara semena-mena sebagai antek PKI--mengalami "genosida", kedua : dia alpa waktu, bahwa ini indonesia tahun 2008, dengan demokrasi yang semakin matang, yang membolehkan warga negara untuk mempelajari ideologi apa-pun, bahkan boleh berkumpul, menyuarakan aspirasi, mendirikan ORMAS berdasarkan ideologi yang dianutnya. Demokrasi memungkinkan semua hal asal taat konstitusi, dan Indonesia adalah Rumah terbuka yang memungkinkan untuk menampung semua orang dengan latar belakang apa-pun.

Jadi jangankan Komunisme, Atheis saja boleh hidup berdampingan dengan sesama anak bangsa yang lain. dan yang paling unik adalah, anda lihat, HIZBUT Tahrir Indonesia (HTI) malah bertambah besar di bumi pertiwi padahal ideologinya jelas-jelas bertentangan dengan "harga mati" yang dipatok para "Founding Fathers" kita yaitu konsep NKRI, UUD'45 dan Pancasila. semua bebas menyalurkan aspirasi asal taat hukum, penuh etika dan disampaikan dengan cara damai. Publik-lah yang nantinya akan menjadi "konsumen" dari ideologi yang berseliweran itu. Tentu para penganut ideologi itu harus "meng-Iklan-kan" dirinya semanis mungkin di ruang-ruang publik agar bisa memenuhi "selera pasar" dan diminati banyak orang. Dengan begitu tercipta persaingan sehat bagi para penganut ideologi itu untuk "menjual" dirinya sendiri, bukan justru saling menghilangkan, saling memberangus satu sama lain. Semua ideologi itu punya hak dan kesempatan yang sama untuk "menjual" dirinya masing-masing. Negara dalam hal ini sebagai "anjing penjaga" yang akan tegas dan keras, jika terjadi pelanggaran hukum dan terutama mengancam ketertiban publik. Inilah etika demokrasi standar--yang sayangnya tidak dimengerti ALFIAN berikut Ormas islam yang digawanginya.

Jadi jangan dibayangkan, jika Komunisme bangkit, maka akan ada Gerakan "machiavelis", propagandis, anarkis yang akan mengkudeta (secara berdarah) pemerintahan sah RI--seperti yang diserukan Lenin untuk membentuk "Diktatur Proletariat"di RUSIA. sekali lagi tidak !. Alasannya, pertama : Semua gerakan machiavelis yang mengancam ketertiban umum di negara manapun harus diberangus, tidak terkecuali di NKRI, siapapun dalangnya entah itu komunisme atau fasisme yang dilancarkan ormas anarkis baik yang berjubah agama maupun sekuler, kedua : komunisme sekarang tidak "se-angker" yang dibayangkan karena lebih "adaptable", humanis dan terbuka, terbukti China dan Rusia sangat maju dalam perekonomian setelah mencontek model ekonomi kapitalis, dan di negara-negara Amerika Latin juga mulai marak pemerintahan "sosial-demokrat" yang tentu saja mengadaptasi nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahannya.

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa Komunisme masih ditakutkan ? bukankah ketakutan ini adalah sisa-sisa "penyakit lama" yang ditanamkan di benak publik selama 32 tahun berkuasa yaitu "phobia" terhadap apa-pun yang dinamakan "laten komunis". Saya menduga ketakutan ORBA terhadap komunisme didasari oleh motif politik karena ideologi kiri itu--seperti yang diajarkan MARX--adalah "pisau kritik" yang tajam untuk "membedah" pemerintahan yang korup sekaligus pemihakan yang progresif terhadap kaum buruh dan petani yang "terdzalimi" oleh sistem yang diciptakan kelas-kelas yang berkuasa untuk semakin melanggengkan kekuasaannya terutama untuk me-monopoli alat-alat produksi. Rezim ORBA berkepentingan menjaga "aset" kekuasaannya dari "serangan ideologi" Komunis.

Yang saya takutkan sebetulnya bukan kebangkitan komunisme--seperti yang mungkin digandrungi para aktivis muda sekarang, tetapi justru bangkitnya ketakutan berlebihan terhadap "laten komunisme" seperti yang selalu terlontarkan oleh ALFIAN dan kawan-kawan dalam debat itu sehingga dia selalu curiga terhadap apa-pun gerakan buruh dan petani untuk menuntut haknya yang selalu dia sebut : "ditunggangi PKI". jadi sebetulnya yang harus dilakukan oleh ALFIAN berikut simpatisannya (dan juga PEMERINTAH) adalah memperkecil ketimpangan sosial dengan mengentaskan kemiskinan dan menegakkan keadilan distributif bagi seluruh warga negara, jika itu sudah dilakukan, saya zamin Komunisme dan ideologi lainnya tidak "laku" dijual dalam masyarakat yang mapan dan makmur, bukannya justru melakukan tindakan "pemberangusan" terhadap apapun ideologi yang berpotensi mengancam kelas-kelas yang berkuasa. Ini malah saya sebut kemunduran nalar yang memalukan bagi seseorang, kelompok atau Pemerintah yang katanya hidup di alam demokrasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar